Mata Air Keluhuran

air-terjun-62

Oleh : Anis Matta, Lc

Galau benar hati sang raja. Putra mahkotanya ternyata seorang pemuda malas, apatis. Talenta raja – raja tidak terlihat dalam pribadinya. Suatu saat sang raja menemukan cara mengubah pribadi putranya : the power of love.

Sang raja mendatangkan gadis – gadis cantik ke istananya. Istana pun seketika berubah jadi taman : semua bunga mekar disana. Dan terjadilah itu. Sesuatu yang memang ia harapkan : putranya jatuh cinta pada salah seorang diantara mereka. Tapi kepada gadis itu sang raja berpesan, “Kalau putraku menyatakan cinta padamu, bilang padanya, “Aku tidak cocok untukmu. Aku hanya cocok untuk seorang raja atau seseorang yang berbakat jadi raja”.

Benar saja. Putra mahkota itu seketika tertantang. Maka iapun belajar. Ia mempelajari segala hal yang harus diketahui seorang raja. Ia melatih dirinya untuk menjadi raja. Dan seketika talenta raja – raja meledak dalam dirinya. Ia bisa, ternyata. Tapi karena cinta.
Cinta telah bekerja dalam jiwa anak itu secara sempurna. Selalu begitu : menggali tanah jiwa manusia, sampai dalam, dan terus ke dalam, sampai bertemu mata air keluhurannya. Maka meledaklah potensi kebaikan dan keluhuran dalam dirinya. Dan mengalirlah dari mata air keluhuran itu sungai – sungai kebaikan kepada semua yang ada di sekelilingnya. Deras. Sederas arus sungai yang membanjir, desak mendesak menuju muara. Cinta menciptakan perbaikan watak dan penghalusan jiwa. Cinta memanusiakan manusia dan mendorong kita memperlakukan manusia dengan etika kemanusiaan yang tinggi.
Jatuh cinta adalah peristiwa paling penting dalam sejarah kepribadian kita. Cinta, kata Quddamah, mengubah seorang pengecut menjadi pemberani, yang pelit jadi dermawan, yang malas jadi rajin, yang pesimis jadi optimis, yang kasar jadi lembut. Kalau cinta kepada Allah membuat kita mampu memenangkan Allah dalam segala hal, maka cinta kepada manusia atau hewan atau tumbuhan atau apa saja, mendorong kita mempersembahkan semua kebaikan yang diperlukan orang atau binatang atau tanaman yang kita cintai. Jatuh cinta membuat kita mau merendah, tapi sekaligus bertekad penuh untuk menjadi lebih terhormat.
Cobalah simak cerita cinta Letnan Jendral Purnawirawan Yunus Yosfiah. Ketika calon istrinya menyatakan bersedia hijrah dari katolik menuju islam, ia bergetar hebat. ”Kalau cinta telah mengantar hidayah pada calon istrinya,” katanya membatin, ”Seharusnya atas nama cinta ia mempersembahkan sesuatu yang istimewa padanya.” Ia sedang bertugas di Timor Timur saat itu. Maka ia berjanji, ”Besok aku akan berangkat untuk sebuah operasi. Aku berharap bisa memeprsembahkan kepala dedengkot Fretilin untukmu.” Tiga hari kemudian, janji itu ia bayar lunas.
Gampang saja memahaminya. Keluhuran selalu lahir dari mata air cinta. Sebab, ”cinta adalah gerak jiwa sang pencinta kepada yang dicintrainya”, kata Ibnu Qoyyim.

Dari majalah Tarbawi edisi 81 Th.5/Shafar 1425 H/2 April 2004 M

Hidup adalah . . .

Hidup adalah perjuangan
Maka hidup butuh pengorbanan karena tiada perjuangan tanpa pengorbanan

Hidup adalah pilihan
Maka hidup selalu beresiko karena pilihan memiliki resiko masing-masing

Hidup adalah ujian
Maka hidup butuh kesabaran karena ujian selalu menuntut kesabaran

Hidup adalah amanah
Maka hidup menuntut tanggung jawab karena setiap amanah akan dimintai pertanggungjawabannya

Hidup adalah perjalanan panjang
Maka hidup harus dengan cinta karena cintalah yang menjadikan sesuatu menjadi indah

Hidup adalah kebersamaan
Maka hidup harus saling percaya karena kebersamaan akan terjaga dengan kepercayaan
Hidup adalah ladang amal
Maka hidup haruslah ikhlas karena hanya amal yang ikhlas yang diterima Sang Pencipta

Cinta

Cinta

Bicara tentang cinta tak akan pernah ada habisnya. Cinta selalu menjadi inspirasi para pujangga, penyair, pencipta lagu, bahkan lukisan-lukisan pun banyak yang mengambil inspirasi dari kata ini. Begitu banyak karya sastra yang lahir dengan tema utama cinta. Cinta memang memiliki kekuatan melakukan itu semua. Maka kisahnya tak pernah lekang dimakan waktu. Menjadi sejarah anak cucu adam. Romeo Juliet, Rama dan Sinta, Kisah cinta di balik Taj Mahal, Yusuf dan Zulaikha dan banyak kisah cinta yang lainnya.

Kehadiran cinta yang tak pernah terasa hingga ia menjerat hati. Peristiwa ini kerap kali terjadi. Manusia tak pernah tahu lewat mana cinta ini hingga benihnya berkecambah dan tumbuh di dalam hati. Akarnya menancap tajam hingga susah untuk dicabut. Menjerat kuat hingga susah untuk lepas. Masa tumbuhnya inilah masa yang paling indah. Masa yang bertabur bunga, tak ada yang tak indah Continue reading “Cinta”

Islam Agama Cinta

Ketika perang Qadisiyyah meletus, Khalifah ‘Umar bin Khattab menulis surat kepada panglimanya, Sa‘ad bin Abi Waqqas, supaya menaklukkan Hilwan, sebuah propinsi di Irak. Maka dikirimlah 300 personel kavaleri di bawah komando Nadhlah bin Mu‘awiyah al-Ansari. Hari itu, setelah dengan mudah menguasai seluruh propinsi, mereka menyaksikan suatu kejadian luar biasa. Saat itu masuk waktu maghrib dan Nadhlah pun naik ke sebuah tempat yang agak tinggi di lereng bukit untuk mengumandangkan azan. Anehnya, setiapkali Nadhlah selesai mengumandangkan kalimat azannya, spontan terdengar suara seseorang menjawabnya. “Allahu akbar!” laung Nadhlah, “Kabbarta kabiran, ya Nadhlah!” sahut orang itu. “Asyhadu alla ilaha illa Allah” dijawab dengan “Kalimatul ikhlas, ya Nadhlah!”. Lalu ketika dilaungkan “Asyhadu anna Muhammadan Rasulullah”, suara misterius itu menyahut, “Huwa ad-dinu, wa huwa alladzi basysyarana bihi ‘Isa ibnu Maryam ‘alayhima as-salam, wa ‘ala ra’si ummatihi taqumu as-sa‘ah!” Nadhlah menyambung azannya, “Hayya ‘ala ash-shalah!” lalu dijawabnya, “Thuba liman masya ilayha wa waazhaba ‘alayha!”, sedangkan “Hayya ‘ala al-falah!” dijawab dengan “Qad aflaha man ajaaba Muhammadan shallallahu ‘alayhi wa sallam, wa huwa al-baqa’ li ummatihi”. Dan laungan “La ilaha illa Allah” disambut dengan “Akhlashta al-ikhlash, ya Nadhlah, faharrama Allah jasadaka ‘ala an-naar!”
Continue reading “Islam Agama Cinta”